Berita / 22 Nov 2021
Aku memandangi sebuah kertas di genggamanku. Masih bersih belum kena setitik pun tinta. “Nanti kumpulkan minggu depan saat pelajaran Ibu, ya. Jangan sampai lupa!” Ujar Bu Farah mengakhiri pelajaran BK kelas sembilan hari Selasa ini. Sementara beberapa temanku sedang sibuk mengisi lembaran mereka masing-masing, aku termenung sendiri. Tertulis besar-besar di kertas tersebut, ‘Tuliskan cita-citamu’. Apa, ya? Aku memang tak pernah memikirkan mau jadi apa saat besar nanti. “Ri, nanti pulang sekolah mau main?” Damar—salah satu sahabatku, menepuk pundakku. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk sembari melipat kertas berisi pertanyaan masa depan tersebut kecil-kecil dan menyelipkannya di saku.
Sekolah sudah terbilang sepi semenjak bel pulang berbunyi lima belas
menit yang lalu. Hanya tersisa segelintir murid yang punya keperluan tambahan,
seperti aku dan Damar yang asyik bermain di lapangan futsal. Setelah bermain
cukup lama, kami melepas penat di pinggir lapangan. “Tendanganmu bagus.” Ujarku
sembari menenggak hampir setengah botol minuman. “Benarkah? Aku berlatih terus
saat liburan kemarin biar makin mantap.” Ujar Damar terkekeh. Aku tahu, Damar
mencintai sepakbola lebih dari apapun. Ia terlihat berseri-seri ketika ditanyai
hobi, apalagi cita-citanya. “Tentu saja aku isi ‘pemain sepakbola di timnas’.”
Jawabnya sewaktu kutanya apa isi lembar pertanyaan BK miliknya.
“Kamu isi apa, Ri?” Tanya Damar. Aku tersenyum sendu menanggapi
pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya. “Belum isi. Aku tidak tahu harus
isi apa.” Ujarku seraya mengamati kerikil di bawah sol sepatu. “Yaa, tidak
apa-apa. Diisi pelan-pelan saja. Mulai dari memikirkan apa yang kamu sukai
saja.” Ujar Damar menepuk-nepuk pundakku, memberi semangat. Hari sudah
menjelang sore. Langit sore tertutup sebagian oleh arakan awan kelabu pertanda
hujan. Kami cepat-cepat membereskan tas dan pulang ke rumah.
Usai makan malam, seperti biasa aku mengerjakan tugas dan mengulang
materi-materi hari ini. Di tengah-tengah mengulang materi, kepalaku tiba-tiba
terasa penuh. Kuputuskan untuk berhenti sejenak dan memejamkan mata. Terngiang
ucapan Damar tadi sore tentang memikirkan apa yang aku sukai. Bagai mengorek
sebuah lubang, aku menjelajahi diriku dalam gelap dan tersadar setelah beberapa
saat. Kubuka salah satu laci meja belajar—yang entah berapa lama tak pernah
kusentuh. Hanya ada sebuah buku tulis kecil yang sudah usang. Buku yang menjadi
saksi masa kecilku. Aku ingat apa yang kusukai, menggambar. Tapi itu dulu.
Orangtuaku tak begitu senang dengan aku yang menggeluti bidang seni rupa
tersebut. Pernah suatu kali, di suatu titik dimana aku mengutarakan keinginanku
untuk bekerja di bidang ini. Tetapi, mimpi kecilku itu harus kukubur
dalam-dalam karena orangtuaku yang menginginkan aku menjadi dokter. “Kalau kamu
jadi tukang gambar dan semacamnya itu, kamu mau makan apa?” sekiranya, itulah
yang ibuku katakan. Sebutlah aku pengecut. Toh, memang aku tak ada bakat juga.
Aku membalik-balik halaman demi halaman buku tulis penuh gambar itu dengan
perasaan tercekat. Beberapa halaman terakhir masih kosong. Terbesit keinginanku
untuk menggambar sesuatu diatasnya.
Kugoreskan pensilku kesana-kemari entah jadi apa bentuknya. Memang tak
bisa dibilang bagus, tetapi rasanya seperti bernostalgia. Bertemu teman lama
yang selalu kurindukan. Aku akhirnya menyadari betapa berharganya mimpi kecilku
untuk diwujudkan. Dengan hati yang mantap, aku bertekad untuk melakukan apa
saja untuk mewujudkannya. Bukan mimpi orangtuaku, melainkan mimpi yang selalu
kurindukan.