Kembali

Detail Berita

...

PENDIDIKAN KARAKTER DIGITAL

Pendidikan Karakter Digital

Oleh Restu Nur Wahyudin


Tulisan ini dimuat di koran Republika, 22 Februari 2020.

Humans were always far better at inventing tools than using them wisely.


Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century

 

Sebuah dunia yang bebas. Dunia yang memudahkan aktivitas kita. Dunia yang kekayaan informasinya tak berbatas. Dunia digital yang dulu dicita-citakan namun kini kita seakan terjebak di dalamnya: seperti sepi di antara keriuhan.

Demikian realitas digital yang terasa hari ini. Sebagaimana juga yang dipaparkan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century. Kita yang menciptakan segala kemudahan ini, namun karena tak cakap mengatur hidup, kita sendiri yang terkena dampaknya.

Hampir segala aspek dalam hidup kita saat ini terhubung dengan akses digital. Bangun tidur kita diingatkan oleh alarm dalam ponsel. Ingin menonton atau membaca berita cukup sekali ketik dalam mesin pencari. Berfoto ria cukup sekali cekrek dan membagikannya dalam media sosial. Segalanya menjadi mudah dan ringkas.

Saking mudahnya membuat waktu kita tergadai percuma. Kita seperti terhipnotis untuk terus mencari. Kadang lupa pada ruang lampau yang biasa kita lakukan: interaksi nyata dengan sesama.

Segala kemudahan itu juga membuat rasa hati kita tanpa tempo. Kurang dari semenit, kita bisa menangis melihat korban konflik di Palestina, beberapa detik kemudian kita bisa tertawa sinis melihat artis sinetron yang berperan protagonis terciduk polisi karena narkoba. Selang kemudian, kita dapat menyeringai tajam kala membaca berita pejabat yang menghabiskan uang rakyat.

Ruang digital itu seakan tak berbatas umur dan waktu. Kenyataan hari ini, orang tua yang kadung lelah bekerja, dengan mudah memberikan gawai untuk meredam amuk anak yang ingin bermain. Ponsel pintar menjadi hal yang wajar kita lihat dalam kehidupan anak-anak.

Sebagai gambaran, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa 64 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna internet aktif.  Mayoritas pengguna internet tersebut yakni anak usia 15 sampai 19 tahun.

Anak yang terbiasa aktivitasnya lekat dengan internet, menjadi berontak saat orang tua membatasinya. Bahkan, sebagaimana yang dilansir republika.co.id (19/10) rumah sakit jiwa di beberapa daerah membenarkan adanya tren kenaikan kunjungan dari anak kecanduan gawai yang cukup signifikan.

Padahal generasi muda sejatinya merupakan aset kita dalam menghadapi industri digital. Merekalah yang seharusnya kita bimbing untuk menciptakan inovasi-inovasi dalam dunia digital. Kenyataannya, anak-anak kita justru menjadi sekadar konsumen dari pesatnya kebaharuan digital.

Kebanyakan dari kita adalah korban dari transisi zaman. Generasi yang belum disiapkan dengan matang, sudah telanjur berjubaku dengan kekayaan informasi digital. Generasi yang tak pandai memanfaatkan informasi dan terjebak di dalamnya. Kenyataan tersebut terlihat dari banyaknya masyarakat yang terkena hoax di Internet. Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.


Tiga Gagasan

Dari paparan di atas, jelas bahwa kita perlu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi dunia digital yang kian pesat. Kita perlu melakukan pendidikan karakter digital agar anak-anak kita kelak menjadi pemimpin dan tak mudah diperdaya oleh informasi.

Setidaknya terdapat tiga gagasan ikhwal pendidikan karakter digital. Gagasan-gagasan tersebut saling berkaitan dan berkelanjutan.

Pertama, hantarkan. Kesalahan terbesar kita saat ini yakni tak mempersiapkan anak-anak dengan cakap. Sebelum anak-anak kita mendapat akses digital. Sebaiknya kita tanamkan terlebih dahulu tata krama menggunakan internet secara bijak. Orang tua harus paham terlebih dahulu jangkauan-jangkauan situs yang bisa diakses oleh anak.

Kita harus menjauhkan anak-anak dari situs yang menebar SARA dan berimplikasi pada pelecehan seksual. Arahkan anak-anak pada informasi yang berorientasi kreativitas, seperti video bertema live hacks atau tutorial barang bekas di youtube. Jika sekiranya, anak-anak sudah memahami batasannya, maka kita bisa memberikan gawai kepada anak.

Kedua, rangkul. Kita tak lantas membiarkan anak menggunakan gawai begitu saja. Orang tua harus merangkul aktivitas digital anak. Kita harus banyak membuka ruang dialog kepada anak.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pendidik, kebanyakan anak yang menyalahgunakan gawai untuk mengakses informasi tak senonoh terjadi karena minimnya perhatian orang tua. Bagi anak usia remaja, kita bisa menanyakan pendapatnya mengenai berita yang sedang diketahui oleh anak. Kita harus memastikan bahwa anak-anak tidak merasa kesepian dan ada sosok yang bisa mengarahkan.

Ketiga, koneksi. Setelah kedua tahap terlaksana, kita harus memastikan bahwa rutinitas digital anak terkoneksi dengan bakatnya. Dialog dan motivasi merupakan kunci dari tahap ini. Semakin banyak kita berdialog dengan anak, maka semakin mudah kita menggali bakatnya.

Anak yang gemar membaca wattpad bisa kita motivasi untuk berani menuliskan cerita dalam situs tersebut. Anak yang selalu menantikan serial manga terbaru, bisa kita arahkan membuat sketsa gambar. Bahkan anak-anak yang suka game, harus berani kita motivasi untuk mengemas coding menjadi karya game.

Dunia digital yang terasa kumuh nan riuh oleh informasi, kiranya bisa menjadi hutan ide nan rimbun bagi anak-anak kita untuk mengarungi hidup. Segalanya dapat terealisasi jika adanya pendidikan karakter digital yang kita laksanakan bersama.


Restu Nur Wahyudin. Guru bahasa Indonesia di SMP Islam Dian Didaktika Depok. Pembina Klub Literasi Digital Pelajar, The Writer Rangers Depok.

Instagram Sekolah Islam Dian Didaktika

Visit Instagram
Sekolah Islam Dian Didaktika

Syarat & Ketentuan

Kebijakan Privacy