Semarang, 3
Febuari 2012
Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, terik cahaya matahari
siang ini sangat amat menyilaukan pandanganku. Saat ini aku masih mengangkat
karung besar berisikan sampah-sampah yang ku temukan di sekitar jalanan mulai
dari sampah botol plastik, tisu, bungkus makanan yang tersisa dan lainnya. Ku
angkat kepalaku melihat ke arah matahari yang entah mengapa sangat cerah hari
ini lalu memejamkan mataku sebentar dan kembali mengambil sampah sampah yang
berserakan. Kalau boleh memilih aku akan memilih untuk diam di rumah bersantai
sambil menikmati minuman dingin atau mungkin duduk di bangku sekolah sambil
mendengarkan guru menerangkan. Ketika sampai di sekitar sekolah mataku secara
otomatis langsung melihat ke arah gerbang sekolah yang di kerumuni anak-anak
seusiaku tapi dengan nasib yang berbeda, tentunya.
Aku menghela nafas pelan sembari mengusap pelipisku yang
penuh dengan bulir-bulir keringat, ku lepas topi hitamku yang kudapatkan dari
hasil menyelam kolam sampah masih bagus tapi kenapa orang membuangnya? hanya
sedikit kotor karena sudah tenggelam di kolam sampah, tanpa ku sadari aku
melamun melihat ke anak-anak seusiaku yang bermain di sekolah, sambil terdiam
di depan tumpukkan sampah dan menikmati panasnya hari ini mengharapkan kalau
saja ibuku masih ada di dunia mungkin sekarang aku tidak perlu memungut dan
mengumpulkan sampah untuk mendapatkan uang.
"Asmara!" kaget laki-laki yang bernama Hari sedikit lebih tua dari
ku, aku langsung tersadar dari lamunanku dan menengok ke arahnya, tersenyum
tipis lalu menjawab tegurannya "ya?" ia tersenyum saat mengetahui
kemana pandanganku mengarah, "ambil sampahnya! jangan malah melamun"
ucapnya. Tubuhnya yang tinggi membuatku harus sedikit mendongak saat berbicara
dengannya, aku terkekeh kecil sambil memungut sampah di depanku lalu bertanya
"kakak pernah iri sama mereka gak sih?" yang di tanya diam dan
berjalan mendahului ku, memungut sampah di dekat pohon, "pernah"
jawabnya.
Aku mengangguk-anggukan kepalaku, kukira hanya aku yang iri ke anak-anak sekolahan,
bisa memakai seragam yang bagus, makan-makanan yang enak dan tentunya bisa
mempelajari ilmu-ilmu. Ku angkat kakiku berjalan ke Hari kami berjalan
menelusuri trotoar sambil memunguti sampah. Tidak ada percakapan di antara kami
sampai saat kami tiba di depan warung yang menjual minuman segar dan tentunya
makanan-makanan.
Ku lihat Hari menatap ke kulkas yang didalamnya terdapat air mineral dingin dan
berbagai macam minuman lainnya. Aku tau dia haus begitupun juga aku, tiba-tiba
muncul pertanyaan yang terlintas di kepalaku saat aku melihat makanan-makanan
yang terususn rapih di atas meja 'Safira dan Elang nanti makan apa?' aku
langsung diam melamun ke arah makanan-makanan di depanku. Kami berdua terlihat
seperti dua bocah yang menyedihkan melamun ke makanan dan minuman di depan
kami, tenggelam dalam pikiran dan harapan masing-masing. Aku melihat ada gadis
yang sangat cantik membeli roti dan minuman yang cukup banyak, gadis itu
dikuncir kuda, bahkan saat ia melewatiku tadi aroma shampoo nya tercium,
kulitnya putih bersih, pipinya berwarna merah muda, matanya bersinar-sinar,
bibirnya juga berwarna merah yang sama dengan pipinya.
Lagi-lagi aku menghela nafas namun kali ini agak panjang dan berat,
berpikir bagaimana nikmatnya perempuan di depanku membeli tanpa melihat harga
dan dalam jumlah yang banyak, pasti ia kalangan orang kaya.
Tiba-tiba saja ia datang ke arahku dan menepuk bahuku pelan lalu
tersenyum "halo...kak ini buat kakak, ini aku beli roti isi coklat klasik
dan air mineral." ucapnya sambil memberikan plastik hitam berisikan roti coklat klasik
empat buah dan air mineral dua botol, aku terdiam gelegapan mengambil kantong
plastik yang di berinya gadis tadi juga memberikan plastik hitam berisikan sama
kepada Hari, beda denganku Hari langsung dengan cepat mengambil plastik hitam
yang di berikan dan mengucapkan terimakasih berulang kali. "Makasih banyak
kak..." aku ikutan mengucapkan terimakasih kepada gadis cantik itu, yang
di terimakasihi hanya tersenyum manis dan menjawab 'ya' berulang kali sebelum
ia pergi berjalan masuk ke sekolah.
Aku melihatnya berjalan
semakin jauh dan tak lama hilang dari padanganku, kalau saja aku
mampu saat ini aku juga sedang memakai seragam yang sama dengannya bukan kaos
putih yang sudah kusam dan robek-robek. Sepertinya usia kita sama, hanya nasib yang membedakannya.
Hari
sudah semakin gelap, matahari yang tadi terasa begitu cerah kini sudah mulai
memudar digantikan oleh cahaya redup-redup dari bulan begitu juga aku yang kini
sedang berjalan ke rumah kecil yang sebenarnya lebih cocok di sebut dengan
gubuk dengan atap dari kumpulan karung- karung bekas dan lantainya dari kardus.
"kak
Asmara!!" panggil seorang bocah lelaki begitu aku masuk ke gubuk tersebut
dengan berbekalan kantong plastik berisikan roti dan air putih tadi siang,
belum ku makan sedikitpun karena
mengingat aku mempunyai dua adik yang masih kecil. "Elanggg" aku menjawab panggilan bocah
bernama Elang tadi, kalau saja kami bisa sekolah aku sekarang duduk di kelas
dua SMP dan Elang berada di kelas tiga SD. Elang yang berada di depanku
langsung mengambil plastik hitam yang ku bawa dan membuka isinya.
Dengan
mulut yang menganga dan mata yang tidak percaya menatap ke arahku seolah-olah
mengatakan 'dapat
roti ini dari mana?' tak
lama muncul seorang gadis lainnya menghampiriku dan Elang, rambutnya dikuncir dua sambil mengatakan "kak
bawa apa? aku tadi lagi ngajarin Elang membaca ehh anaknya kabur" aku yang
mendengar keluhannya tertawa lalu menjawab pertanyaan gadis itu tadi,
"roti dek" yang di jawab hanya dengan bibir yang berbentuk huruf 'O'
kalau yang ini namanya Safira hanya berbeda tiga tahun dari Elang berarti
seharusnya ia duduk di kelas enam SMP. Safira sendiri berbeda denganku dari
kecil dia memang sudah pintar seperti membersihkan sesuatu yang kotor atau
pergi berjalan-jalan dan bertanya kepadaku setiap kali ia melihat papan iklan
atau gerobak-gerobak makanan "kak kalau ini apa bacanya?" atau
"kak ini apa namanya" dan aku hanya menjawab dengan sesabar mungkin.
Aku
menutup pintu yang terbuat dari kain bekas dan duduk di lantai beralaskan kardus
itu yang tentunya Safira dan Elang mengikutiku duduk di kanan kiriku.
"tadi ada anak cantikkk banget kasih roti ini ke
kakak" ku mulai menceritakan kejadian
tadi siang sambil
mengambil roti dan membagikannya ke Elang dan Safira, Elang langsung membuka
bungkus rotinya dan memakannya sedangkan Safira merespon ceritaku sambil membuka plastik
rotinya, "oh ya? kakak ketemu dimana" aku terdiam sejenak lalu
menjawab pertanyaannya "di...depan sekolah, dekat dengan masjid yang
sering kita lewati" sekarang aku ikut mengambil roti dan membuka
plastiknya.
Rotinya enak, saat ku gigit
isian coklatnya langsung keluar, rasanya manis dan sangat lembut kulihat ke
kanan dan kiriku Elang dengan rotinya yang sudah tinggal setengah dan mulutnya
yang belepotan selai
coklat dan Safira yang memotek rotinya
menjadi beberapa bagian lalu melahapnya.
Ini kali pertama seseorang memberi kami roti,
biasanya orang-orang akan memberi kami sesuatu yang lebih berat seperti nasi
bungkus atau mie instan yang sampai sekarang
belum bisa kami makan karena harus diseduh dengan air panas, dan…mangkuk?
tidak mungkin mendapatkan mangkuk utuh yang bersih di kolam sampah bukan??
'roti coklat klasik' namanya, sebenarnya hanya roti berisi selai coklat biasa
tapi roti ini sangat enak, aku tidak paham dimana letak klasiknya tapi kurasa
isian coklatnya dibuat benar-benar dari coklat asli dan tidak menggunakan bahan
tambahan apapun. Mungkin juga
cara membuatnya menggunakan teknik zaman dulu, selain rasanya bentuknya juga
terlihat sangat tua bukan seperti model roti zaman sekarang.
Aku tau kalau Elang dan Safira sering
menatap ke arah pedagang-pedagang roti atau anak-anak yang dengan bahagia
melahap roti mereka tapi darimana aku bisa mendapat uang untuk
membelinya? yang harus kulakukan saat ini berkerja dengan keras agar
dapat membelikan mereka roti suatu hari nanti.
Jakarta, 13 Mei 2018
Bibirku
yang semula terlihat masam kini mulai menarik sudutnya masing-masing
ke kanan dan ke kiri, memori indah yang tiba-tiba saja melintas di benakku saat
melihat roti yang di sajikan di rak berwarna hijau tua, 'roti
coklat klasik'
aku membaca tempelan yang tertempel di plastik roti tersebut tanpa pikir
panjang aku langsung mengambil roti tersebut, ku ambil tiga buah roti dengan air
mineral dingin dua botol "bu ini yaa" pintaku kepada sang ibu-ibu
penjual dan ibu tersebut langsung menghitungnya dengan kalkulator dan
menaruhnya di plastik berwarna hitam, aku melihat-lihat sekitar toko tersebut
dan secara tidak sengaja mataku menangkap sosok bocah yang sedang menatap balik
ke arahku dengan tatapan yang sendu.
Begitu
ibu penjual mengucapkan harga aku langsung mengambil 2 buah roti yang sama
tetapi dengan ukuran yang lebih besar dan dua botol air mineral "tambah
ini bu tapi
tolong dipisah ya plastiknya.." pintaku kepadanya, ibu penjual mengangguk
dan memberi pesananku tadi setelah mengucapkan harga, aku langsung membuka
dompet dan membayarnya lalu berjalan ke bocah tadi. Ku beri plastik berisikan dua buah
roti besar dan dua botol air mineral kepadanya "halo dek..ini buat kamu yaa" ucapku sambil tersenyum
kepadanya, yang di beri roti membalas senyumanku kaku mengucapkan "terimakasih" dengan
buru-buru lalu pergi
lari ke laki-laki di belakangnya yang sepertinya adalah kakaknya.
Lagi-lagi
aku tersenyum mengingat dulu juga seperti itu saat ada yang memberi roti
kepadaku bedanya aku tidak lari ke orang lain kemudian aku berjalan masuk ke
gedung Universitas bersama Melati yang dari tadi sudah menungguku di depan
gerbang. Kalian masih ingat dengan gadis cantik yang kuceritakan tadi kan? dia
yang minta kepada orang tuanya untuk membiayai aku dan adikku sekolah dan
tinggal di rumah, Melati namanya cantik dan harum seperti orangnya. Sekarang
Melati sudah menjadi sahabatku, kita masuk ke Universitas yang sama dengan
jurusan yang sama juga, aku sangat amat berterimakasih kepada
tuhan sudah mempertemukanku dengan Melati.
Tok tok tok
Kalau
dulu aku tidak mengetuk pintu sekarang aku bisa mengetuknya dan tentu saja
pintunya terbuat dari kayu berwarna coklat, kalau dulu atap rumahku itu karung
bekas sekarang atapnya sudah ada genteng yang anti air, banyak yang berubah
pikirku. Tak butuh waktu lama terdapat sosok lelaki tinggi yang membukakan
pintu untukku "mbak Asmara!!" sapanya dengan nada yang gembira
tentunya dengan senyum yang sangat cerah. "dih kaya anak kecil, sini duduk
lang! mana Safira?" tanyaku sambil melangkah masuk ke dalam dan duduk di
kursi yang empuk.
Dulu
aku tidak pernah merasakan empuknya kursi yang kudapatkan hanya kardus keras,
Elang mengikutiku lalu duduk di sebelah kiriku dengan raut wajah yang mengejek
"anak kecil apaan, mbak Safira lagi di dapur" jawabnya, "kenapa pake mbak sih? kita udah di Jakarta tau" protesku dan di respon dengan tawanya. "loh mbak
Asmara tumben udah pulang?" sekarang giliran
sosok yang dari tadi ku cari datang, Safira keluar dari
balik tirai dengan rambutnya yang di kuncir kuda dan tangan
kanannya yang memegang spatula
dengan noda sambal,?aku mendengus saat mendengar kedua adikku memanggilku
'mbak' Elang yang berada di sebelahku tertawa kencang sekali mendengar Safira
memanggilku dengan panggilan yang sama, aku protes kepadanya "naon sih mbak mbakan? 'kak' gitu elitan dikit"
Elang tertawa puas, "biar beda mbak Asmaraa" respon Safira dengan wajahnya yang
menyebalkan lalu duduk di samping kananku. "cocokan 'mbak' tau daripada 'kak' Asmara'"
ucap Elang yang ku tanggapi dengan memukul
lengannya pelan sambil melotot ke arahnya, "sst diem!" perintahku, aku membuka isi
plastik hitam dan memberinya ke Safira dan Elang, Elang menganga saat aku
memberinya roti dan langsung membuka plastiknya dan melahapnya "roti
coklat klasik.." ucapku "dia buka juga ya di Jakarta?" tanya
Safira yang membagi rotinya menjadi beberapa bagian lalu melahapnya, aku juga
ikut melahap roti bersejarah tersebut rasanya masih sama, manis dan lembut.
Aku menganggukan kepalaku
"iya kali dia buka di Jakarta juga, enak sih rotinya jadi gak heran dia punya cabang disini" jawabku, kini gantian Safira yang menganggukan kepalanya
padahal warung kecil tapi ibunya hebat bisa membuka toko roti di sini juga.
Satu kebiasaan yang ku perhatikan dari Elang adalah
dia tidak pernah membuka mulutnya atau mengobrol saat makan karena itu yang
menjawab pertanyaan Safira tadi hanya aku.
"rasanya
masih sama, ibu-ibunya hebat" ucap Elang setelah ia selesai menelan
potongan terakhirnya, Safira dan aku mengangguk setuju dengan pendapat Elang,
kami terdiam sejenak larut dalam pikiran
masing-masing sampai akhirnya Elang membuka suara "kok bau gosong
ya..." Safira yang tadi sedang melahap rotinya dengan santai langsung melongo
ke arahku dan Elang lalu buru-buru berlari ke dapur di balik tirai.
Terdengar
suara Safira mengeluh berulang kali di belakang sana, aku dan Elang yang
mendengarnya tertawa ria di atas penderitaan sambal gosongnya itu.
Disusul dengan Elang yang merebahkan kepalanya di sandaran kursi dan mengatakan "makan malam hari ini.... jeng jeng jengg, ayam goreng dengan sambal gosong buatan mbak Safiraaa!!!" lalu tertawa lepas begitu saja.
Syarat & Ketentuan